Analisahukum.com – Kami Justice Makers Fellows dan Advokat dari NET Attorney yang telah melakukan pendampingan hukum dari proses laporan polisi, penyelidikan, penyidikan, penuntutan di persidangan, banding hingga kasasi ini menemukan catatan-catatan penting terhadap urgensi reformasi KUHAP yang progresif, modern dan berkeadilan.
KUHAP yang berlaku saat ini banyak berisi ketidakadilan dan tidak sesuai kebutuhan masyarakat saat ini. Hal tersebut diperburuk dengan tindakan Aparat Pengak Hukum yang sewenang-wenang, tidak adil dan tidak profesional dalam melayani masyarakat.
Berbagai persoalan kelemahan dalam KUHAP antara lain:
Pertama, Laporan Pidana yang sering ditolak Aparat Penegak Hukum dengan alasan untuk memasukkannya saja ke Pengaduan yang berisi informasi adanya peristiwa pidana. Adapun penolakan Laporan Pidana ini akan membuat kejahatan merajalela dan tidak mampu mencegah perbuatan pidana yang akan lebih merugikan masyarakat. Sehingga dalam KUHAP harus diatur Aparat Penegak Hukum wajib menerima laporan pidana dari Masyarakat yang selanjutnya diteliti dalam proses penyelidikan untuk menentukan perbuatan yang dilaporkan merupakan peristiwa pidana atau bukan. Jadi laporan pidana harus berdasarkan laporan dari masyarakat yang mengetahui adanya peristiwa pidana terkecuali dari adanya proses tertangkap tangan yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum yang tidak membutuhkan syarat adanya laporan masyarakat.
Kedua, proses rangkaian penyelidikan dan penyidikan yang tidak memiliki serangkaian agenda pasti pemeriksaan terhadap Saksi Pelapor, Saksi Terlapor dan Saksi-Saksi dan Ahli. Ketiadaan standar dalam penanganan kasus tersebut mengakibatkan disparitas pelayanan yang terlihat dalam Perkara nomor 50/Pid.B/2025/PN SMG ini tanpa adanya proses penyelidikan yang tiba-tiba proses penyidikan dan dilakukan penangkapan terhadap Para Tersangka/ Para Terdakwa tanpa pernah dimintai keterangan sebagai saksi. Sementara dalam penanganan kami dalam kasus lain ada laporan polisi dalam proses penyelidikan dalam tempo waktu sekitar 9 (sembilan) bulan lebih masih dalam proses penyelidikan. Akhirnya terjadi disparitas pelayanan dalam penyelidikan dan penyidikan yang sangat mungkin patut diduga merupakan bentuk diskriminasi pelayanan karena faktor relasi kedekatan keluarga, uang atau jabatan yang dimiliki seseorang ketika berhadapan dengan proses hukum. Akhirnya proses hukum yang dalam satu perkara sangat cepat pelayanan dan dikasus lain sangat berjalan lambat. Akhirna upaya solutif berupa ‘no viral no justice’ yang sering muncul belakangan ini yang memang terbukti Aparat Penegak Hukum bergerak cepat ketika kasus sudah menjadi Viral. Sehingga seharusnya Hukum harus bisa diakses sama oleh orang-orang yang berbeda dalam memperoleh keadilan yang diatur secara baik dalam rancangan KUHAP.
Ketiga, Upaya kewenangan paksa penangkapan yang diterapkan secara sewenang-wenang dan tidak proporsional terhadap seseorang. Upaya penangkapan haruslah diterapkan terhadap orang yang:
- saksi atau tersangka yang melarikan diri yang ditetapkan dalam daftar pencarian orang (DPO);
- tertangkap tangan melakukan tindak pidana.
Keempat, Upaya paksa penahanan yang diterapkan, tidak proporsional dan merupakan tindakan sewenang-wenang terhadap Tersangka/ Terdakwa. Dan seringkali penahanan berubah menjadi ruang penyiksaan untuk mengejar pengakuan Tersangka. Sebagai contoh, pemberitaan di media massa seperti penyiksaan yang mengakibatkan luka-luka ringan dan berat bahkan berujung kematian oleh anggota polres Banyumas, pelecehan seksual di Rutan Polda Sulses dan Pemerkosaan di Polres Pacitan dan berbagai tindakan pidana korupsi berupa pemerasan.
Selain itu, selama ini seringkali penyidik hanya menggunakan dasar alasan subjektif yang hanya didaskan pada kemungkinan yang tidak jelas alat ujinya. Maka, sudah seharusnya di dalam kewanangan APH dalam melakukan penahanan dalam konteks alasan subjektif haruslah dilakukan dengan alat uji sebagai berikut:
- melarikan diri dan sudah ditetapkan DPO
- Mengulangi tindak pidana setelah adanya laporan polisi. Hal ini dikecualikan untuk kejahatan KDRT dan TPKS yang berpotensi membahayakan jiwa, raga dan/atau mengakibatkan trauma bagi korban
- Menghancurkan barang bukti dengan tujuan untuk menghilangkan/menghambat proses penyelidikan/penyidikan
Penahanan tidak harus dilakukan dirumah tahanan negara melainkan dialihkan menjadi tahanan kota dengan kewaijban tersangka/ terdakwa menggunakan gelang kaki modern berisi GPS yang akan mengikuti persidangan secara tepat waktu.
Kelima, seringkali terdakwa dirugikan karena tidak diberikan hak membela diri dengan menjawab pokok perkara atas dakwaan bersalah dari Penuntut Umum saat persidangan dilakukan dakwaan dari Penuntut Umum. Terdakwa hanya diperbolehkan mengajukan eksepsi terbatas pada formalitas prosedur. Sehingga, saat proses pembuktian berlangsung hakim tidak memiliki pengetahuan yang berimbang antara perspektif Penuntut Umum dan Terdakwa.
Keenam, seringnya tindakan APH yang tidak memiliki standar yang jelas dalam melaksanakan kewenangannya, kami mengusulkan agar alat uji yang jelas dengan menggunakan Asas-Asas Umum Aparat Penegak Hukum yang baik. Seperti, Asas Imparsialitas, Proporsional, Kepentingan Umum, Profesional dsb. Sehingga dengan alat uji ini akan membantu APH tetap menjadi APH yang baik, adil dan bertanggungjawab. Sehingga, ketika masyarakat menjumpai APH yang tidak menjalankan/melanggar Asas-Asasu Umum Aparat Penegak Hukum yang baik, maka hal tersebut dapat diuji oleh masyarakat melalui praperadilan.
Kami mengajak seluruh masyarakat untuk terlibat aktif mengawal proses dan memberikan masukan pada rancangan KUHAP yang berlangsung hingga saat ini.
Narahubung:
- Eti Oktaviani- Justice Makers
- Nasrul Dongoran- NET Attorney