Analisahukum.com – Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) melakukan penahanan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto pada hari Kamis, 20 Februari 2025. Hasto ditahan karena telah melakukan perintangan penyidikan (Obstruction of Justice) dalam perkara yang melibatkan buron Harun Masiku.[1]
Ketua KPK mengatakan Hasto dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi penetapan anggota DPR RI terpilih 2019-2024 yang dilakukan oleh tersangka Harun Masiku. Hal ini dilakukan bersama-sama dengan Saeful Bahri berupa pemberian sesuatu hadiah atau janji kepada Anggota Komisi Pemilihan Umum 2017-2022 Wahyu Setiawan bersama-sama dengan Agustiani Tio sebagaimana.
Dalam perkara ini Hasto disangka melanggar Pasal 21 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Hasto ditahan selama 20 hari terhitung mulai pada 20 Februari 2025 sampai dengan 11 Maret 2025. Penahanan dilakukan di Cabang Rumah Tahanan Negara dari Rumah Tahanan Negara Klas I Jakarta Timur.
Pengertian Obstruction of Justice
Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Adji dalam Peradilan Bebas Negara Hukum dan Contempt of Court menjelaskan, Obstruction of Justice merupakan tindakan yang ditunjukan maupun mempunyai efek memutarbalikkan proses hukum, sekaligus mengacaukan fungsi yang seharusnya dalam suatu proses peradilan.[2]
Dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada pasal 21 yang mengatakan, setiap orang yang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.
Berdasarkan pengamatan kami dalam media saar keterangan Ketua KPK yang menyatakan Hasto diduga memerintahkan salahsatu pegawainya di Jalan Sutan Syahrir yang biasa digunakan sebagai kantor untuk menelpon Harun Masiku untuk merendam ponsel miliknya dan melarikan diri dari Operasi Tangkap Tangan KPK pada sekitar 8 Januari 2020.[3]
Bahwa Penyidik KPK yang menetapkan Hasto sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana Obstruction of Justice yang melanggar Pasal 21 UU TPK ini adalah tidak tepat dan sewenang-wenang.
Operasi Tangkap Tangan atau Tertangkap Tangan belum masuk tahapan penyelidikan atau Penyidikan berdasarkan KUHAP
Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan Petugas KPK pada tangggal 8 Januari 2020 merupakan terminologi tertangkap tangan yang dimaksud dalam Pasal 1 angak 19 KUHAP yang berbunyi : “Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.”
Jika dikaitkan antara Pasal 21 UU TPK dengan Pasal 1 angka 19 KUHAP mengenai perbuatan Hasto yang dituduhkan memerintahkan Harun Masiku merendam ponsel miliknya dan melarikan diri dari Operasi Tangkap Tangan KPK pada sekitar 8 Januari 2020 adalah dugaan perintah yang dilakukan pada saat tertangkap tangan yang bukan pada saat penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan sidang di Pengadilan. Sehingga secara hukum perbuatan Hasto yang dituduhkan jika dilihat pada waktu kejadian (tempus) tidak pada saat tidak memenuhi unsur Obstruction of Justice mengenai setiap orang yang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Bahkan Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap tindak pidana suap terhadap Wahyu Setiawan dkk sudah ditangkap dan disidangkan di Pengadilan hingga adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang artinya Penyidik dan Penuntut Umum KPK tidak terhalang tugasnya melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan di Pengadilan.
Komisi Pemberantasan Korupsi harus segera berbenah dengan meningkatkan profesionalisme dalam bekerja dengan memanfaatkan kewenangan besar yang dimiliki dalam penyelidikan dan penyidikan untuk mengungkap kasus korupsi, sehingga tidak hanya mengandalkan operasi tertangkap tanggan yang cenderung menangkap basah pelaku tindak pidana. Akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi yang patut diduga kurang profesional cenderung menyalahkan pihak lain dengan alasan merintangi proses penyidikan ketika hasil proses tertangkap tanggan tidak maksimal, padahal jika petugas KPK bertindak profesional tentu tidak meletakan satu pembuktian hanya pada satu barang bukti yang nantinya menjadi alat bukti yang menentukan di persidangan.
Seperti kata pepatah banyak jalan menuju ke roma yang mengartikan Penyidik KPK seharusnya memiliki banyak cara dengan berbagai alat bukti untuk menetapkan seseorang sebagai Tersangka, sehingga penerapan Obstruction of Justice sebagaimana dalam Pasal 21 UU TPK harus dimaknai secara tegas tanpa analogis (lex stricta) merupakan bentuk tindak pidana dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.
Profesi Advokat dan tantangan Obstruction of Justice
Adapun menurut pendapat hukum saya pemaknaan pasal 21 UU TPK ini merupakan bentuk suatu tindakan yang memiliki kekuatan atau kekuasaan besar yang menghalangi KPK dalam melakukan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi pada tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan hinggga pemeriksaan di persidangan. Sehingga obstruction of juctice bukanlah pada suatu tindakan yang menghilangkan bukti, mempengaruhi saksi atau menyuruh melarikan diri yang merupakan tindakan subyektif seseorang sebagai bentuk naluri manusia ingin melindungi diri sendiri.[4]
Profesi Advokat sebagai pembela dan penasihat hukum saksi atau tersangka maupun terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi merupakan posisi yang paling rentan terkena dengan pasal Obstruction of Justice. Jika nasihat atau tindakan Advokat yang melakukan pendampingan hukum mengakibatkan kesulitan bagi Penyidik/ Penuntut Umum melakukan tugasnya seperti mengumpulkan bukti dan menghadirkan saksi atau tersangka dan terdakwa akan sangat mungkin dianggap sebagai tindakan Obstruction of Justice, sehingga kami meminta penerapan Pasal 21 UU TPK ini harus diterapkan secara ketat hanya pada seseorang yang memiliki kekuasaan dan kekuatan besar untuk menghalangi atau menghentikan proses hukum dalam pemberantasan korupsi, yang semisal Kepala Lembaga Negara yang memilki kekuatan atau kekuasaan menghentikan secara paksa dan melawan hukum proses penangkapan sebagaimana kita ketahui saat Kepala Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) Negara Korea Selatan menghalangi upaya penyidik menahan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol yang sudah dimakzulkan.[5]
Kami sadar perbedaan pendapat tentang penetapan tersangka atas dugaan tindak pidana Obstruction of Justice ini akan mendapatkan berbagai tanggapan pro dan kontra dari berbagai sisi. Namun pendapat hukum ini sebagai bentuk dukungan terhadap lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi untuk bekerja secara profesional dalam pemberantasan korupsi sekaligus juga mengingatkan Aparat Penegak Hukum seperti Polri, Jaksa dan Hakim untuk secara hati-hati menggunakan pasal Obstruction of Justice.
Bila anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait kasus pidana dan/atau ingin mendapatkan analisa hukum terkait persoalan hukum yang anda hadapi, segera hubungi kami NET Attorney di kontak Whatsapp 0813-4000-2034 atau email: halo@analisahukum.com serta follow akun instagram @netattorney untuk mendapatkan informasi menarik.
[1] https://www.tempo.co/hukum/hasto-ditahan-dalam-kasus-perintangan-penyidikan-di-perkara-harun-masiku-1209910
[2] https://www.hukumonline.com/berita/a/pengertian–kedudukan–dan-unsur-obstruction-of-justice-dalam-proses-hukum-lt634e124548acb
[3] https://nasional.sindonews.com/read/1507823/13/kenapa-hasto-kristiyanto-baru-sekarang-ditetapkan-tersangka-ini-penjelasan-ketua-kpk-1735035139
[4] Pendapat hukum Managing Partner NET Attorney Nasrul Saftiar Dongoran, SH., MH.
[5] https://www.cnnindonesia.com/internasional/20250115153959-113-1187520/polisi-buru-kepala-paspampres-korsel-usai-halangi-penangkapan-presiden.